UtamaSosialBudayaHumaniora

Selamat Datang... Anda sekarang berada di bagian Budaya pada Fajar Maverick blog

Sabtu, 06 September 2008

Sambak, Potret Kearifan Lokal





Nun jauh di perbukitan Potorono sebelah selatan Lereng Gunung Sumbing, sebuah tatanan kehidupan sarat dengan nilai-nilai terbingkai dalam kultur masyarakat Desa Sambak, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang.

Mereka tak paham dengan definisi konservasi, namun mengerti betul sumber air yang ada saat ini jika tidak diselamatkan, maka anak cucu mereka akan mengalami bencana kekeringan yang dahsyat.
Pun mereka tak tahu menahu tentang apa yang disebut eksploitasi, tetapi sadar sepenuh hati apabila lingkungan rusak berarti sumber kehidupan dengan sendirinya akan musnah.
“Secara harafiah atau definitif, masyarakat Sambak memang tak paham bagaimana menjelaskan konsep ekologi untuk kesejahteraan, namun berbagai aktivitas yang dilakukan terlebih dalam upaya konservasi sumber air sudah mengarah ke konsep ekologi untuk kesejahteraan,” demikian diungkapkan mantan Kepala Desa Sambak yang juga penggagas konsep ekologi untuk kesejahteraan, Bambang Herry Subrastawa.
Lebih lanjut dijelaskan Bambang, warga Sambak menganggap sumber daya alam yang melimpah, tidak untuk dieksploitasi habis-habisan, bukan pula warisan leluhur yang tabu disentuh dan diubah, namun tetap dimanfaatkan demi kesejahteraan sembari menjaga kelestariannya.
Apa yang terjadi di Desa Sambak ini memang kontras dengan daerah lain. Masyarakat setempat leluasa menjalani aktivitas sebagaimana dilakukan nenek moyangnya beberapa tahun silam. Bukan sekadar tradisi turun temurun atau adat istiadat, melainkan justru merupakan langkah riil upaya konservasi sumber kehidupan.
Kepala Bapeda Kabupaten Magelang, Bambang Dono menilai apa yang dilakukan masyarakat Sambak sebagai upaya advokasi konservasi sumber air. Tak hanya itu, Sambak yang mempunyai 94 hektare hutan negara, bahkan telah berani mengambil tindakan penyelamatan rimba.
“Masyarakat Sambak berani membuat nota kepahaman (MoU) dengan Perhutani bahwa siapapun tidak boleh menebang pinus atau tanaman dalam hutan negara selama 20 tahun. MoU itu diperkuat dengan perdes untuk aplikasi di tingkat bawah,” terangnya.
Saat ini Sambak mempunyai kekayaan hutan seluas 334,5 hektare. Hebatnya, hanya 2,5 hektare yang dinyatakan kritis, itu pun mulai kembali diupayakan dengan penyadaran masyarakat untuk konservasi hutan.
Legalitas
Potensi lain yang dimiliki antara lain bentang sawah seluas 132 hektare di area perbukitan, pekarangan dengan pola kebun campur alamiah seluas 43,5 hektare, tegalan 66,6 hektare, hutan rakyat 110 hektare, dan hutan negara 94 hektare. Dari beberapa hektare hutan di Sambak setidaknya telah memunculkan tiga sungai yang di dalamnya ada sembilan titik mata air.
Uniknya dari 94 hektare hutan negara di Sambak sebenarnya merupakan hutan produksi, namun sampai saat ini masih tetap menghijau. Hal ini terwujud berkat kesadaran untuk melakukan konservasi sumber air.
Upaya Perhutani untuk mengeksploitasi hutan produksi senantiasa kandas dalam diskusi dengan warga yang bertameng konservasi sumber air untuk kehidupan masyarakat.
“Perhutani sebenarnya sah-sah saja jika mau menebangnya, tapi kita selalu upayakan untuk dialog, bahwa dengan penebangan dampaknya bagi kami akan seperti ini,” papar Bambang Herry Subrastawa.
Patut pula mendapat acungan jempol yakni upaya mempertahankan hutan dan sumber air tidak hanya sekadar wacana dialogis. Masyarakat Sambak yang cerdas sadar akan arti sebuah legalitas.
Alhasil mereka pun menyusun peraturan desa (Perdes) yang kemudian disinergikan dengan Perda sebagai payung hukum konservasi sumber air dan hutan.
Langkah yang ditempuh masyarakat Sambak tersebut kini menular ke hampir semua desa di Magelang yang tergugah untuk menyelamatkan sumber air dengan cara konservasi hutan dan lahan.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

di sini ada info lebih dalam tentang perkembangan desa sambak
Semoga bisa menjadi bahan referensi
sambak online

desa sambak