UtamaSosialBudayaHumaniora

Selamat Datang... Anda sekarang berada di bagian Budaya pada Fajar Maverick blog

Sabtu, 20 September 2008

Akulturasi Hindu-Islam Dalam Budaya Bali




Ada keselarasan dan keharmonisan ketika rudat, musik bernuansa islami, tampil bersama dengan gong blaganjur, musik tradisional Bali, pada upacara ritual di Puri Pemecutan, jantung kota Denpasar, beberapa waktu lalu.

Perpaduan dua musik berbeda latar belakang itu sengaja ditampilkan sebagai cermin betapa harmonis dan rukunnya umat beragama yang berdampingan satu sama lainnya di Bali, yang diwarisi secara turun-temurun sejak lima ratus tahun silam.

Kerukunan itu berkat Konsep "menyama braya", yakni persaudaraan yang betul-betul diterapkan dalam kehidupan umat beragama di Bali. Kehidupan umat beragama yang "mesra dan harmonis" yang selama ini dapat diwujudkan di Pulau Dewata diharapkan dapat tetap terpelihara guna mendukung terciptanya kondisi yang aman, nyaman dan tenteram, sekaligus memberikan kesejukan di hati umat manusia.

Akulturasi Islam-Hindu di Bali mewujud antara lain dalam bangunan masjid. Itu sebabnya, masjid di Bali kebanyakan berbeda dengan masjid pada umumnya.

Arsitektur Bali, yang penuh ukiran, juga mewarnai masjid di Pulau Dewata. Akulturasi antara Islam dengan seni budaya Bali tidak masalah. Bahkan keterpaduan kedua unsur itu tetap dipertahankan hingga sekarang.

Agama Islam dan Hindu sesungguhnya memiliki banyak persamaan bahkan terjadi akulturasi menyangkut seni dan budaya dari kedua agama tersebut di Pulau Dewata.

Bukti lain dari terjadinya akulturasi Islam-Hindu terdapat di Desa Pegayaman Kabupaten Buleleng, Kepaon Kota Denpasar dan Desa Loloan di Kabupaten Jembrana.

Desa Pegayaman misalnya, sebagian besar warganya memeluk agama Islam, namun nama depannya sama seperti orang Bali pada umumnya. Nama khas daerah itu, misalnya Wayan Muhammad Saleh atau Made Jalaluddin.

Dalam budaya, umat Islam Bali telah "berbaur" dengan budaya setempat, terlihat dari lembaga adat yang tumbuh di masyarakat muslim Bali sama dengan lembaga adat masyarakat Bali Hindu.

Umat muslim juga menerapkan sistem pengairan subak, pola pengaturan air seperti yang dilakukan petani yang beragama Hindu, meskipun cara mensyukuri saat panen berbeda.

Umat Islam yang mengolah lahan pertanian di Subak Yeh Sumbul, Medewi, Pekutatan, dan Subak Yeh Santang, Kabupaten Jembrana, daerah ujung barat Pulau Bali, menerapkan sistem pengairan secara teratur seperti umumnya dilakukan petani Pulau.

Adanya unsur kesamaan antara Islam dan Hindu itu dapat dijadikan tonggak lebih menciptakan kemesraan dan tali persaudaraan antara Hindu dan Islam, termasuk umat lain di Pulau Dewata, bahkan di Nusantara.

Tali Persahabatan

Tokoh puri atau sesepuh keluarga kerajaan di Bali telah menjalin tali persahabatan yang sangat akrab dengan umat Islam yang bermukim di masing-masing wilayahnya.

Keakraban itu tidak hanya membekas sampai sekarang, tetapi juga dapat diketahui melalui peninggalan tertulis pada sejumlah puri di Pulau Dewata.

Menurut Mudzakkir, pria kelahiran Bali yang leluhurnya berasal dari Bugis, Sulawesi Selatan, peninggalan tertulis tersebut menyebutkan terjalinnya keakraban serta hubungan yang harmonis dan serasi antara pemeluk Islam dan Hindu.

Dalam bulan Ramadhan yang tengah berlangsung, para tokoh puri mendatangi warga muslim untuk mengadakan buka puasa bersama.

Hal itu antara lain dilakukan tokoh Puri Carangsari, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, terhadap warga muslim Kampung Bugis, Angantiga, Kecamatan Petang.

Demikian pula tokoh Puri Pemecutan Denpasar datang ke warga muslim untuk mengadakan silaturahmi ke masjid Kepaon, masjid di Kelurahan Serangan maupun tempat lainnya yang selama ini telah terjalin keakraban.

Buku sejarah masuknya Agama Islam ke Bali yang ditulus oleh Drs M Sarlan, MPA, menyebutkan Islam masuk ke pulau itu abad 17, ketika adanya pendaratan perahu asal Jawa.

Saat itu penguasa Denpasar adalah Raja Cokorda Pemecutan III yang bergelar Betara Sakti dan gelar itu diberikan karena Raja Pemecutan III memiliki kesaktian yang luar biasa.

Ketika itu, Kerajaan Pemecutan tengah berseteru dengan tetangganya Kerjaan Mengwi. Diplomasi dan musyawarah tidak mampu mencegah perang bersenjata.

Para pendatang dari Jawa yang perahunya rusak dan terdampar, tenaganya dimanfaatkan oleh Raja Pemecutan sebagai prajurit yang membantu menggempur Kerajaan Mengwi. "Prajurit" pendatang tersebut dipimpin Raden Sastroningrat, seorang bagsawan kelahiran Madura. Oleh Raja Pemecutan, ia dijanjikan kebebasan serta akan dinikahkan dengan salah seorang putrinya bila bersedia membantu Kerajaan Pemecutan melawan Mengwi.

Akhirnya, pasukan gabungan Pemecutan dan para pengawal Raden Sastroningrat memenangkan pertempuaran melawan Kerajaan Mengwi.

Tidak kurang dari 30 orang pasukan Bugis gugur di medan pertempuran itu dan jenazahnya dikuburkan dalam satu kawasan di Ubung, Denpasar.

Sebagian pasukan Bugis selamat dan Haji Mukmin yang ikut dalam pertempuran tersebut selamat dan diberi gelar "Gede" serta tempat pemukiman sekaligus membangun masjid di Kampung Bugis Kelurahan Serangan.

Raja Pemecutan III menempati janjinya, atas kemenangan pertempuran itu. Sastroningrat dikawinkan dengan putri raja bernama Anak Agung Ayu Rai.

Setelah itu, Sastroningrat mengajak istrinya pulang ke Jawa. Sekembalinya dari tanah Jawa, pasangan suami-istri tersebut diterima dengan baik oleh raja, namun setelah tahu putrinya pindah agama maka raja memisahkan tempat tinggal keduanya.

Putri raja dan para pengikutnya yang setia dari Jawa ditempatkan di Kebon, kini menjadi perkampungan Islam Kepaon, Denpasar Selatan, dan sebagian di Kampung Bugis, Kelurahan Serangan. Sedangkan suaminya Sastroningrat ditempatkan di Ubung, Denpasar.

Ayu Rai wafat dan dikuburkan di tempat pemakaman "Setra Ganda Mayu" Badung yang lokasinya berdekatan dengan Puri Raja Pemecutan, dan sampai sekarang makam tersebut lebih dikenal dengan nama "Pura Keramat Puri Pemecutan".

Tempat makam tersebut dalam bulan suci Ramadhan banyak diziarahi orang Madura dan Jawa yang tinggal di Bali, di samping orang Bali.

Sabtu, 06 September 2008

Sambak, Potret Kearifan Lokal





Nun jauh di perbukitan Potorono sebelah selatan Lereng Gunung Sumbing, sebuah tatanan kehidupan sarat dengan nilai-nilai terbingkai dalam kultur masyarakat Desa Sambak, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang.

Mereka tak paham dengan definisi konservasi, namun mengerti betul sumber air yang ada saat ini jika tidak diselamatkan, maka anak cucu mereka akan mengalami bencana kekeringan yang dahsyat.
Pun mereka tak tahu menahu tentang apa yang disebut eksploitasi, tetapi sadar sepenuh hati apabila lingkungan rusak berarti sumber kehidupan dengan sendirinya akan musnah.
“Secara harafiah atau definitif, masyarakat Sambak memang tak paham bagaimana menjelaskan konsep ekologi untuk kesejahteraan, namun berbagai aktivitas yang dilakukan terlebih dalam upaya konservasi sumber air sudah mengarah ke konsep ekologi untuk kesejahteraan,” demikian diungkapkan mantan Kepala Desa Sambak yang juga penggagas konsep ekologi untuk kesejahteraan, Bambang Herry Subrastawa.
Lebih lanjut dijelaskan Bambang, warga Sambak menganggap sumber daya alam yang melimpah, tidak untuk dieksploitasi habis-habisan, bukan pula warisan leluhur yang tabu disentuh dan diubah, namun tetap dimanfaatkan demi kesejahteraan sembari menjaga kelestariannya.
Apa yang terjadi di Desa Sambak ini memang kontras dengan daerah lain. Masyarakat setempat leluasa menjalani aktivitas sebagaimana dilakukan nenek moyangnya beberapa tahun silam. Bukan sekadar tradisi turun temurun atau adat istiadat, melainkan justru merupakan langkah riil upaya konservasi sumber kehidupan.
Kepala Bapeda Kabupaten Magelang, Bambang Dono menilai apa yang dilakukan masyarakat Sambak sebagai upaya advokasi konservasi sumber air. Tak hanya itu, Sambak yang mempunyai 94 hektare hutan negara, bahkan telah berani mengambil tindakan penyelamatan rimba.
“Masyarakat Sambak berani membuat nota kepahaman (MoU) dengan Perhutani bahwa siapapun tidak boleh menebang pinus atau tanaman dalam hutan negara selama 20 tahun. MoU itu diperkuat dengan perdes untuk aplikasi di tingkat bawah,” terangnya.
Saat ini Sambak mempunyai kekayaan hutan seluas 334,5 hektare. Hebatnya, hanya 2,5 hektare yang dinyatakan kritis, itu pun mulai kembali diupayakan dengan penyadaran masyarakat untuk konservasi hutan.
Legalitas
Potensi lain yang dimiliki antara lain bentang sawah seluas 132 hektare di area perbukitan, pekarangan dengan pola kebun campur alamiah seluas 43,5 hektare, tegalan 66,6 hektare, hutan rakyat 110 hektare, dan hutan negara 94 hektare. Dari beberapa hektare hutan di Sambak setidaknya telah memunculkan tiga sungai yang di dalamnya ada sembilan titik mata air.
Uniknya dari 94 hektare hutan negara di Sambak sebenarnya merupakan hutan produksi, namun sampai saat ini masih tetap menghijau. Hal ini terwujud berkat kesadaran untuk melakukan konservasi sumber air.
Upaya Perhutani untuk mengeksploitasi hutan produksi senantiasa kandas dalam diskusi dengan warga yang bertameng konservasi sumber air untuk kehidupan masyarakat.
“Perhutani sebenarnya sah-sah saja jika mau menebangnya, tapi kita selalu upayakan untuk dialog, bahwa dengan penebangan dampaknya bagi kami akan seperti ini,” papar Bambang Herry Subrastawa.
Patut pula mendapat acungan jempol yakni upaya mempertahankan hutan dan sumber air tidak hanya sekadar wacana dialogis. Masyarakat Sambak yang cerdas sadar akan arti sebuah legalitas.
Alhasil mereka pun menyusun peraturan desa (Perdes) yang kemudian disinergikan dengan Perda sebagai payung hukum konservasi sumber air dan hutan.
Langkah yang ditempuh masyarakat Sambak tersebut kini menular ke hampir semua desa di Magelang yang tergugah untuk menyelamatkan sumber air dengan cara konservasi hutan dan lahan.

Kamis, 21 Agustus 2008

Wisata Surabaya Harus Utamakan Gedung Tua




Pariwisata Surabaya jangan hanya diarahkan pada wisata sungai atau pembangunan monumen-monumen sejarah, namun harus lebih fokus pada pemeliharaan gedung-gedung tua yang banyak telantar. Dimana sebagian besar wisatawan mancanegara, terutama dari Eropa paling menyukai arsitek gedung-gedung tua berikut sejarahnya. Tidak ada wisman yang mau mengeluarkan banyak uang datang ke Surabaya, hanya disuguhi petlot raksasa (Tugu Pahlawan)

Surabaya sebagai salah satu kota bisnis terbesar di Asia Tenggara, mempunyai potensi pariwisata yang luar biasa besar. Terutama jika Surabaya mempunyai pelabuhan yang telah ada sejak zaman dahulu, yang sudah pasti memiliki bangunan-bangunan kuno dengan arsitektur klasik. Kalau saja pemkot Surabaya bisa menangkap itu, kedatangan turis tidak akan bisa dibendung lagi.

Wisata sungai yang berulang kali didengungkan Pemerintah Kota Surabaya telah menghabiskan biaya yang luar biasa besar, akan tetapi kurang didukung kesadaran dari seluruh warga kota. Pemerintah Kota tidak bisa berjalan sendiri, sementara warga kota tidak mendukung. Jadi untuk mewujudkannya perlu waktu yang cukup lama, sedangkan kedatangan turis mancanegara tidak bisa ditunda lagi.

Habiskan dana

Monumen-monumen bersejarah yang banyak dibangun oleh Pemerintah Kota, hanya menghabiskan dana pemerintah saja. Sementara monumen-monumen itu tidak cukup kuat untuk menarik minat wisatawan. Berbeda halnya jika pemerintah membangun monumen-monumen itu, diikuti dengan pemeliharaan gedung-gedung tua. Hal tersebut akan menjadi wisata sejarah yang terintegrasi, saling mengisi. Apalagi bila pemerintah menghidupkan kembali trem yang pernah ada. Tidak perlu panjang cukup tiga gerbong, dan tidak usah operasional. Jadikan trem itu sebagai restoran makanan Indonesia, maka daya tarik wisatanya akan luar biasa sekali.

Dalam pemeliharaan gedung-gedung tua tersebut, sebenarnya pemerintah bisa mengajak swasta untuk melakukannya. Seperti halnya mengajak untuk tidak membangun gedung baru yang tinggi, tetapi menempati gedung-gedung tua itu. Dengan hal tersebut semua diuntungkan, pihak swasta tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk membangun gedung baru, sementara bagi pemkot Surabaya gedung-gedung tua jadi terawat.

Pembangunan gedung-gedung baru di daerah kota tua, seperti Kembangjepun, Jembatan Merah, Jalan Semut, dan sekitarnya sangat mengganggu nilai artistik dari daerah tersebut. Banyak turis yang kecewa karena Jembatan Merah yang sangat terkenal itu, tidak didukung oleh suasana kuno di sekitarnya. Banyak gedung baru di sekitar sana, sehingga merusak pemandangan,sedangkan gedung-gedung tua yang bias dijadikan ikon kondisinya cukup mengenaskan, tidak terawatt bahkan telah hilang…(Mav)

Rekonstruksi Majapahit





Situs Umpak-Umpak panjang yang berada di sebelah selatan Candi Kedaton atau situs Sumur Upas tetap seperti biasanya. Tidak ada aktivitas yang mencolok, misalnya orang yang mengukur pondasi-pondasi yang akan digunakan untuk mendirikan bangunan panjang di atas situs ini. Beberapa warga sekitar lokasi bahkan tidak banyak yang tahu bahwa rekontruksi di situs ini kian dekat.

Lantas, apakah tidak ada pengukuran? Koordinator Gotrah Wilwatikta Anam Anis pada tanggal 28 Desember lalu menjelaskan, pihak Yayasan Peduli Majapahit telah melakukan serangkaian penelusuran di lokasi dengan mengajak tim ahli dari berbagai bidang. Terutama dari tim arkeologi dan ikatan arsitek Indonesia untuk mendesain ulang situs ini berdasarkan artefak yang masih tersisa. Yakni umpak-umpak panjang. Bahkan kabarnya desainnya sendiri sudah jadi, tinggal kapan untuk merealisasi kan saja.

Ternyata, tidak hanya upaya fisik yang dilakukan Yayasan Peduli Indonesia pimpinan Luluk Sumiarso yang juga menjabat sebagai Dirjen Migas. Anis menjelaskan saat ini, belasan paranormal juga mengajukan diri untuk bergabung dengan Gotrah Wilwatikta. Mereka sangat antusias untuk mengikuti perkembangan terkini tentang rekontruksi Majapahit.

Bahkan, baru-baru ini sebanyak 15 paranormal yang peduli dengan Majapahit melakukan lelaku untuk membantu secara metafisik langkah yang ditempuh Yayasan Peduli Majapahit dan Gotrah Wilwatikta ini, mereka melekan di Kolam Segaran.

Hasilnya? Mereka melakukan mediasi dan melakukan wawancara imaginer dengan Gajah Mada. Sebab, bagaimana pun juga kebesaran Majapahit tidak akan pernah lepas dari nama besar Mahapatih Gajah Mada yang mendampingi Raja Hayam Wuruk ini. Bahkan, kerap nama-nama Raja Majapahit tenggelam dan orang lebih mengenal sosok mahapatih yang bisa mempersatukan wilayah nusantara ini.

“Dari dialog imaginer tersebut, paranormal mendapatkan gambaran sosok Gajah Mada. Pada kesempatan tersebut, Gajah Mada juga menggambarkan sosok dirinya dalam untaian kata-kata bersyair. “Siapakah aku? Orang ada yang mengenalku bernama Gajah dari Desa Mada. Ada pula yang menilaiku berasal dari Bali. Tentang asal usulku, siapa orang tuaku biarlah itu tersimpan rapat-rapat di hatiku,” ujar Anis membacakan sebagian hasil dialog tersebut.

Selain tentang asal usul yang tidak terungkap, Gajah Mada juga mengisahkan tentang kematiannya. Yakni, itu terjadi pada saat Raja Hayam Wuruk melakukan perjalanan ke Blitar. Saat itu ia tinggal di istana sendirian. Dada kirinya tiba-tiba sakit, dan ia merasa sudah mendekati ajal. Namun, dalam perbincangan itu pula dikatakan bahwa jasad Gajah Mada tidak berwujud sebagaimana jasad mereka yang sudah meninggal. Sebab, untuk melepaskan nyawa dari badannya tersebut, Gajah Mada tidak mudah. Maka ia pun membentuk pusaran angin yang berembus kencang dan berputar. “Untuk melepaskannya badanku berputar membentuk angin kencang. Ketika angin tersebut hilang, maka sirnalah pula ragaku,” ujar Anis melanjutkan hasil wawancara imaginer belasan paranormal tersebut.

Budaya Yang Semakin Hilang....



Beberapa waktu lalu Reog yang berasal dari Ponorogo sempat diakui sebagai budaya negara tetangga kita - Malaysia, dimana Reog kita diakui dengan nama Barongan, tapi tarian dan aksesorisnya hampir mirip sekali dengan Reog Ponorogo. Kebanyakan dari masyarakat kita sekarang ini kurang menghargai budaya sendiri.

Dulu waktu saya kecil masih suka menonton ketoprak Siswo Budoyo atau Wahyu Budoyo atau nonton acara Ludruk di TVRI Jawa Timur. Saya masih sempat menikmati acara-acara yang sarat dengan budaya-budaya lokal.

Buktinya apa masyarakat kita kurang mengapresiasi budaya sendiri? Gampang saja... silahkan lihat acara TV sekarang ini, hampir semua statiun TV hanya mengejar rating dan sangat jarang menampilkan acara-acara yang menampilkan budaya-budaya lokal.

Kita masih diuntungkan sekarang ini masih punya beberapa TV lokal yang giat menampilkan acara-acara yang sarat dengan budaya-budaya lokal. Tapi tetap saja masyarakat kita cenderung lebih memilih acara-acara yang jauh dari nilai budaya lokal. Kita dijajah 350 tahun oleh belanda dan 3,5 tahun oleh jepang. Banyak sekali percampuran budaya atau proses akulturasi budaya pada saat itu.

Pada saat ini proses akulturasi budaya berkembang sangat cepat, hal ini didukung dengan adanya media komunikasi massa yang sangat cepat. Di Indonesia televisi merupakan media yang sangat efektif untuk menyebarkan informasi. Sayangnya content atau acaranya kebanyakan tentang budaya bangsa lain. Kita lebih senang nonton film luar negeri seperti spiderman atau film lokal yang bertema budaya pop, daripada acara budaya lokal... ya itu kenyataan yang ada di masyarakat kita.

Yang patutkita takut 20 hingga 30 tahun kedepan mungkin bahasa lokal (bahasa daerah atau mungkin bahasa Indonesia...) sudah tidak digunakan lagi. Kadang orang malah malu menggunakan bahasa lokal dikira tidak maju dan katro. Siapa yang mau belajar Gamelan Jawa dan tembang-tembang klasik Jawa atau budaya lokal lainya. Karena saya orang Jawa saya pemerhati kondisi budaya Jawa yang semakin lama semakin ditinggalkan oleh orang Jawa sendiri. Pada saat yang sama bangsa lain seperti orang Kanada, Jerman, Polandia, Jepang, Australia bahkan Amerika ada yang belajar tentang gamelan Jawa dan tembang-tembang Jawa, banyak orang Jawa yang malah meninggalkan budayanya dan malah ikut budaya barat.

Paling tidak kita tahu dan mendukung budaya-budaya kita. Walaupun kita tidak harus bisa memainkan semua alat musik dari daerah kita atau tembang-tembang lokal yang ada. Tapi kita paling tidak mencintai budaya kita, bahasa kita dan tembang-tembang daerah kita. Kalau bisa lebih dari budaya-budaya dari bangsa lain.

Saya setuju jika budaya memang berkembang sesusai dengan perkembangan peradaban manusia. Karena peradaban akan berganti dan berubah atau mengalami proses akulturasi. Tetapi pertanyaan yang patut kita ungkapkan dan pertanyakan pada orang lain bahkan pada diri kita sendiri "apakah kita ini mau jadi bangsa yang berkarakter atau bangsa yang ikut-ikutan aja ma budaya bangsa lain?" Budaya lokal merupakan potensi pariwisata yang sangat potensial jika di jaga dan dilestarikan.